Pengetahuan Sejarah Keris
Kerisologi
Apa Itu Keris?
Sebelum membahas masalah keris dan budayanya, sebaiknya ditentukan dahulu batasan-batasan mengenai apa yang disebut keris.
Hal ini perlu karena dalam masyarakat sering dijumpai pengertian yang keliru dan kerancuan mengenai apa yang disebut keris.Saya berpendapat, sebuah benda dapat digolongkan sebagai keris bilamana benda itu memenuhi kriteria berikut:
1. Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian ganja. Bagian bilah dan pesi melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja melambangkan ujud yoni. Dalam falsafah Jawa, yang bisa dikatakan sama dengan falsafah Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan perlambang akan harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian), dan kekuatan.
2. Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja. Bukan tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong,ini adalah perlambang dari sifat orang Jawa, dan juga suku bangsa Indonesia lainnya, bahwa seseorang, apa pun pangkat dan kedudukannya, harus senantiasa tunduk dan hormat bukan saja pada Sang Pencipta, juga pada sesamanya. Ilmu padi, kata pepatah, makin berilmu seseorang, makin tunduklah orang itu.
3. Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 - 38 cm. Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm, bahkan keris buatan Filipina Selatan, panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang terpendek adalah keris Buda dan keris buatan Nyi Sombro Pajajaran, yakni hanya sekitar 16 - 18 cm saja.Tetapi keris yang dibuat orang amat kecil dan pendek, misalnya hanya 12 cm, atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran fullpen, tidak dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat berbentuk keris-kerisan.
4. Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam,- minimal dua, yakni besi, baja dan bahan pamor. Pada keris-keris tua, semisal keris Buda, tidak menggunakan baja.
Dengan demikian, keris yang dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam lainnya, tidak dapat digolongkan sebagai keris. Begitu juga "keris" yang dibuat bukan dengan cara ditempa, melainkan dicor, atau yang dibuat dari guntingan drum bekas aspal tergolong bukan keris, melainkan hanya keris-kerisan. Meskipun masih ada beberapa kriteria lain untuk bisa mengatakan sebuah benda adalah keris, empat ketentuan di atas itulah yang terpenting.Keris Budaya Nusantara Thailand, Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Jadi, boleh dikatakan budaya keris dapat dijumpai di semua daerah bekas wilayah kekuasan dan wilayah yang dipengaruhi Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya beberapa ahli budaya menyebutkan, keris adalah budaya Nusantara. Keris tertua dibuat di Pulau Jawa, diduga sekitar abad ke-6 atau ke-7. Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda.Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya, bentuknya masih sederhana. Tetapi bahan besinya menurut ukuran zamannya, tergolong pilihan, dan cara pembuatannya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris yang kita kenal sekarang. Keris Buda hampir tidak berpamor. Seandainya ada pamor pada bilah keris itu, maka pamor itu selalu tergolong pamor tiban, yaitu pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan oleh Sang Empu.
Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya, bentuk bilah keris juga mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan tebal, secara berangsur menjadi menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang, dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi lebih indah. Ricikan atau komponen keris yang semula hanya berupa gandik,pejetan, dan sogokan, dari zaman ke zaman bertambah menjadi aneka macam. Misalnya, kembang kacang, lambe gajah, jalen, jalu memet, lis-lisan, ada-ada, janur, greneng, tingil, pundak sategal, dan sebagainya. Meskipun dari segi bentuk dan pemilihan bahan baku, keris selalui mengalami perkembangan, pola pokok cara pembuatannya hamper tidak pernah berubah. Pada dasarnya, pola pokok proses pembuatan keris: membersihkan logam bahan besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, dan kemudian memberinya bentuk sehingga disebut keris.
Pada zaman sekarang pembuatan keris masih tetap dilakukan secara tradisional di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu (Sulawesi Tenggara), Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta), Kelantan (Malaysia), dan Bandar Sri Begawan (Brunai Darussalam). Pembuatan keris masa kini masih tetap menggunakan kaidah-kaidah lama. Beberapa di antar para empu dan pandai keris itu bahkan masih tetap membaca mantera dan doa, serta melakukan puasa selama masa pembuatan kerisnya.Karena budaya keris ini tersebar luas di seluruh Nusantara, Benda ini mempunyai banyak nama padanan. Di pulau Bali keris disebut kadutan. Di Sulawesi, selain menyebut keris, orang juga menamakannya selle atau tappi. Di Filipina, keris dinamakan sundang.Di beberapa daerah benda itu disebut kerih, karieh, atau kres.Demikian pula bagian-bagian kelengkapan keris juga banyak mempunyai padanan. Walaupun demikian bentuk keris buatan daerah mana pun masih tetap memiliki bentuk yang serupa. Dan, juga bentuk bagian-bagiannya pun tidak jauh berbeda.
Bukan Alat Pembunuh Walaupun oleh sebagian peneliti dan penulis bangsa Barat keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, sebenarnya keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual. Untuk ‘sipat kandel,’ kata orang Jawa. Karenanya oleh sebagian orang keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib. Bagi yang percaya, keris tertentu dapat menambah keberanian dan rasa percaya diri seseorang, dalam hal ini pemilik keris itu. Keris juga dapat menghindarkan serangan wabah penyakit dan hama tanaman. Keris dapat pula menyingkirkan dan menangkal gangguan makhluk halus. Keris juga dipercaya dapat membantu pemiliknya memudahkan pemiliknya memudahkan mencari dipercaya dapat dimanfaatkan tuahnya, sehingga benda itu dianggap bisa memberikan bantuan keselamatan bagi pemilik dan orang-orang sekitarnya. Memang ada keris-keris yang benar-benar digunakan untuk membunuh orang, misalnya keris yang pada zaman dulu dipakai oleh algojo keraton guna melaksanakan hukuman bagi terpidana mati. Begitu pula keris-keris yang dibuat untuk prajurit rendahan. Namun kegunaan keris sebagai alat pembunuh ini pun sifatnya seremonial dan khusus, misalnya Kanjeng Kyai Balabar milik Pangeran Puger. Pada abad ke-18
keris ber-dapur Pasopati itu digunakan oleh Sunan Amangkurat Amral untuk menghukum mati Trunojoyo di alun-alun Kartasura.
Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk, serta seni perlambang,. Pembuatannya selalu disertai doa-doa tertentu, berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus. Doa pertama seorang empu ketika akam mulai menempa keris adalah memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar keris buatannya tidak akan mencelakakan pemiliknya maupun orang lain. Doa-doa itu juga diikuti dengan tapa brata dan lelaku, antara lain tidak tidur, tidak makan, tidak menyentuh lawan jenis pada saat-saat tertentu.Bahan baku pembuatan keris adalah besi, baja, dan bahan pamor. Bahan pamor ini ada empat macam;
Pertama, batu meteorit atau batu bintang yang mengandung unsure titanium. Bahan pamor yang kedua adalah nikel. Sedangkan bahan pamor lainnya adalah senyawa besi yang digunakan sebagai bahan pokok. Biasanya, pamor jenis ketiga ini adalah besi yang yang disebut pamor Luwu. Sedangkan bahan yang keempat adalah senyawa besi dari daerah lain, yang bila dicampurkan pada bahan besi dari daerah tertentu akan menimbulkan nuansa warna serta pemanpilan yang berbeda. Besi dan pamor ditempa berulang-ulang lalu dibuat berlapis-lapis.Pada zaman ini, umumnya paling sedikit 64 lapisan. Untuk pembuatan keris berkualitas sederhana diperlukan lapisan sebanyak 128 buah. Sedangkan yang kualitas baik harus dibuat lebih 2.000 lapisan. Baru setelah itu, untuk mendapat ketajamanan yang baik, disisipkan lapisan baja di tengahnya.Segala benda yang tipis akan menjadi jauh lebih kuat bilamana benda itu dibuat berlapis-lapis. Teori ini sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lampau. Mereka menemukan teori ini,dan mempraktikkannya, sekitar 7 atau 8 abad sebelum teknologi pembuatan tripleks atau kayu lapis (plywood) ditemukan dan diproduksi orang Barat pada awal abad ke-16.
Pemilihan akan batu meteorit yang mengandung unsur titanium, juga merupakan penemuan nenek moyang kita yang mengagumkan. Karena titanium ternyata memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis unsur logam lainnya. Unsur titanium itu keras, kuat, ringan, tahan panas, dan juga tahan karat. Dalam peradaban modern sekarang, titanium dimanfaatkan orang untuk membuat pelapis hidung pesawat
angkasa luar, serta ujung roket dan peluru kendali antar benua.Kaitannya dengan Budaya Lain Selain berfungsi sebagai senjata, baik secara fisik maupun secara spiritual, keris juga merupakan salah satu kelengkapan pakaian adat --
baik di Pulau Jawa, maupun di pulau-pulau lain di luar Jawa. Selin itu masih ada beberapa fungsi keris lainnya, dalam budaya Indonesia, dan juga budaya Malaysia, Brunai, serta Thailand Selatan. Pada masa silam keris dapat berfungsi sebagai benda upacara, sebagai tanda ikatan keluarga atau dinasti, sebagai atribut suatu jabatan tertentu, sebagai lambang kekuasaan tertentu, dan sebagai wakil atau utusan pribadi pemiliknya. Pada zaman dulu, seorang utusan raja baru dipandang sah bilamana ia membawa serta salah satu keris milik raja yang mengutusnya. Bilamana seorang pegawai kerajaan (abdidalem) menduduki jabatan tertentu, pada upacara wisuda ia akan mendapat sebilah keris jabatan dari atasannya. Sampai kini, di kerajaan Brunei Darussalam, tradisi semacam itu masih tetap dilestarikan. Dulu, kekuasaan seorang raja baru akan dipandang sah oleh rakyatnya manakala raja mengenakan salah satu keris pusaka kerajaan pada saat penobatan. Di Pulau Jawa, terutama pada masyarakat suku bangsa Jawa di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, kalau pengantin pria berhalangan hadir pada upacara pernikahan, ia boleh mewakilkan dirinya dengan sebilah keris miliknya. Jadi, keris itulah yang akan dipersandingkan dengan pengantin putri di pelaminan. Adat yang demikian juga ada di pada masyarakat Bali. Di Sumatra Barat seorang pemuda yang hendak berangkat merantau biasanya dibekali sebilah keris oleh orang tuanya, sebagai perwujudan ikatan keluarga dan doa restu orang tua. Dari berbagai prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa diketahui bahwa keris pernah juga menjadi salah satu kelengkapan sesaji pada upacara keagamaan pada waktu itu. Bahkan di desa-desa tertentu di Pulau Jawa, pada akhir masa penjajahan Belanda, untuk melaksanakan upacara bersih desa masih pula disertakan sebilah keris kecil yang disebut keris sajen.
Bersih desa adalah suatu upacara selamatan tradisional untuk memohon pada Yang Maha Kuasa agar warga desa, termasuk sawah ladangnya, terhindar dari gangguan penyakit dan hama tanaman, terlindung dari ancaman berbagai bencana alam. Upacara ini juga dimaksudkan untuk memperbaharui semacam kesepakatan atau agreement dengan makhluk halus penghuni desa itu (Sing Mbahureksa - Bhs. Jawa) untuk tidak saling mengganggu dengan penduduk desa. Keris sajen adalah keris kecil yang dibuat amat sederhana. Keris ini dalam berbagai buku yang ditulis orang Barat disebut sebagai keris Majapahit. Jadi, penyebutan keris kecil yang sederhana itu sebagai keris Majapahit oleh sebagian orang Barat adalah salah!
Yang benar adalah keris sajen. Atau, keris sesaji. Memang, budaya keris amat erat kaitannya dengan berbagai budaya lain dalam masyarakat berbagai suku bangsa di Indonesia.
Budaya Asli Indonesia
Keris adalah budaya asli Indonesia. Walaupun pada abad ke-14, nenek moyang bangsa Indonesia pada umumnya beragama Hindu dan Budha, tidak pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara lain. Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional itu dengan kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di Pulau Jawa ditemui adanya gambar timbul (relief) yang menggambarkan adanya senjata yang berbentuk keris,maka pada candi yang ada di India atau negara lain, bentuk senjata semacam ini tidak pernah ada. Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri itu. Dalam kitab Mahabarata dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak ditemukan satu pun senjata yang bernama keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa dan panahnya, gada, pedang, dan cakra.
Tetapi tidak keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi cerita wayang! Beberapa buku yang ditulis orang Barat menyebutkan bahwa di Persia (kini Iran) dulu juga pernah ada pembuatan senjata berpamor yang serupa dengan keris yang ada di Indonesia. Ini pun keliru! Beberapa jenis senjata kuno buatan Persia memang dihiasi dengan semacam lukisan atau kaligrafi pada
permukaan bilahnya. Namun penerapan teknik hiasan itu beda benar dengan pamor. Teknik menghias gambar pada permukaan yang dilakukan bilah senjata yang dilakukan di Iran adalah dengan menggores permukaan bilah itu sehingga timbul alur, kemudian ke dalam alur goresan itu dibenamkan (dijejalkan) kepingan tipis logam emas atau kuningan. Jadi, teknik hias yang digunakan orang Iran adalah teknik inlay, yang oleh orang Jawa disebut sinarasah. Tetapi hiasan sinarasah itu sama sekali bukan pamor, melainkan hanya merupakan hiasan tambahan atau susulan. Sedangkan pamor adalah hiasan yang terjadi karena adanya lapisan-lapisan dari dua (atau lebih) jenis logam yang berbeda nuansa warna dan penampilannya, yaitu besi, baja, serta bahan pamor. Besinya berwarna kehitaman, bajanya agak abu-abu, sedangkan pamornya cemerlang keperakan. Padahal semua senjata buatan Iran, praktis hanya terbuat dari satu macam logam, yakni baja melulu. Memang teknik pembuatan pamor pada bilah keris agak serupa dengan teknik pembuatan baja Damaskus. Pedang Damaskus atau baja Damaskus juga terbuat dari paduan dua logam yang mempunyai nuansa beda. Pedang itu pun menampilkan gambaran semacam pamor pada permukaan bilahnya. Tetapi meskipun teknik pembuatannya hampir sama, niat dan tujuan pembuatan kedua benda itu jauh berbeda. Pedang Damaskus dibuat dengan tujuan utama membunuh lawan, senantiasa diasah tajam. Sedangkan keris dibuat untuk benda pusaka, untuk mendapat kepercayaan diri (sipat kandel - Bhs. Jawa), diharapkan manfaat gaibnya, serta tidak pernah diasah setelah keris itu jadi.
Di Indonesia, keris yang baik pada umumnya selain berpamor juga diberi hiasan tambahan dari emas, perak, dan juga permata. Hiasan ini dibuat untuk memuliakan keris itu, atau sebagai penghargaan Si Pemilik terhadap kerisnya. Pemberian emas dapat juga sebagai anugrah dari raja atas penghargaan terhadap jasa Si Pemilik keris itu. Hiasan yang dinilai paling tinggi derajatnya adalah bilamana sebilah keris diberi kinatah atau tinatah. Permukaan bilah keris dipahat dan
diukir denga motif tertentu sehingga membentuk gambar timbul (relief) dan kemudian dilapisi dengan emas. Terkadang, di sela-sela motif hiasan berlapis emas itu masih ditambah lagi dengan intan atau berlian. Jika hiasan kinatah itu menutup sepertiga bagian panjang bilah atau lebih, disebut kinatah kamarogan. Jenis motif kinatah juga banyak ragamnya. Yang paling terkenal adalah, pada bilah keris adalah kinatah lung-lungan, dan pada ganja kinatah gajah singa. Hiasan sinarasah emas seperti yang dilakukan orang Persia kuno, tergolong lebih sederhana dibandingkan dengan kinatah. Teknik sinarasah, selain digunakan untuk menghias permukaan bilah, juga sering digunakan untuk membuat motif rajah. Yaitu gambaran yang dianggap memiliki pengaruh gaib. Misalnya rajah Kalacakra, rajah Bintang Soleman, dll. Ditinjau dari cara dan niat pembuatannya keris dapat dibagi atas dua golongan besar. Yaitu yang disebut keris ageman, yang hanya mementingkan keindahan lahiriah (eksoteri) keris itu. Golongan dua adalah keris tayuhan, yang lebih mementingkan tuah atau kekuatan gaibnya (isoteri atau esoteri). Ditinjau dari bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi atas 240 dapur keris. Dari jumlah yang ratusan itu, secara umum dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan yang berkelok-kelok bilahnya. Yang berkelok-kelok bilahnya itu disebut keris luk. Jumlah kelokan atau luknya, mulai dari tiga sampai dengan 13. Keris yang luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang tidak normal (tetapi bukan berarti tidak baik), dan disebut keris Kalawija. Sedangkan motif hiasan pamor pada bilahnya, lebih dari 150 ragam pamor. Keris yang dibuat dalam lingkungan keraton oleh para empu keraton, umumnya diberi gelar Kyai, Kanjeng Kyai, dan Kanjeng Kyai Ageng, Selain gelar, keris juga diberi nama. Gelar dan nama keris itu tercatat dan disimpan dalam arsip keraton. Sedangkan keris milik keratin biasanya disimpan dalam ruangan khususyang disebut Gedong Pusaka. Keris-keris yang terkenal dan disebut-sebut dalam legenda atau cerita rakyat, yang paling terkenal adalah keris Empu Gandring pada zaman Kerajaan Singasari. Keris itu konon dibuat oleh Empu Gandring atas pesanan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Keris terkenal lainnya adalah Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat, pusaka Keraton Majapahit yang konon pernah dicuri oleh Adipati Blambangan. Ada lagi keris Kyai Setan Kober yang dipakai oleh Arya Penangsang, sewaktu berperang melawan Danang Sutawijaya, pada awal berdirinya kerajaan Pajang. Sedangkan di pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya, yang terkenal adalah keris Si Ginje.
Cara Memakai
Cara mengenakan keris sewaktu seseorang memakai pakaian adat, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Selain itu dalam satu daerah, kadang-kadang cara pemakaian itu juga berbeda antara lapisan masyarakat yang satu dengan lainnya, tergantung pada tingkat sosialnya. Dan itu pun harus disesuaikan, pada situasi apa keris itu akan dikenakan. Mengenai tata cara mengenakan keris ini pada setiap daerah, setiap suku bangsa, memang ada aturannya, ada etikanya. Di Pulau Jawa, misalnya, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak sama dengan kalau keris itu dikenakan untuk menghadiri suatu acara kematian dan penguburan.
Di Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara menyelipkannya di antara stagen sejenis ikat pinggang, di pinggang bagian belakang. Yang paling umum, keris itu diselipkan miring ke arah tangan kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula posisi kerisitu. Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu seorang ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah. Di Pulau Bali keris dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain, di punggung dengan posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada situasi yang khusus, cara pemakaiannya juga lain lagi. Di daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu, Palembang, Riau, Malaysia, Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai, Tenggarong, Banjar, Bugis, Goa, Makassar, Luwu, dll, keris biasanya dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangankanan. Pada sebagian suku bangsa di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris adalah sesuatu yang aneh, janggal, tidak masuk akal.
Barangkali seperti melihat orang Eropa mengenakan jas dan dasi tetapi tanpa sepatu. Perjodohan Sebagai benda antik yang banyak penggemarnya, nilai sebilah keris selain ditentukan oleh keindahannya, mutu, dan jenis bahan bakunya, juga oleh umurnya. Pada umumnya, makin tua keris itu, senjata pusaka itu akan makin dihargai.Namun penilaian terhadap mutu sebilah keris bukan hanya berdasar umur, juga keutuhan, serta beberapa faktor lainnya. Para penggemar keris pada umumnya mempunyai pedoman umum dalam menilai sebuah keris. Pedoman itu adalah tangguh, sepuh, dan wutuh.Yang dimaksudkan adalah, perkiraan asal pembuatan keris itu (tangguh), relatif sudah tua (sepuh), dan belum ada cacat, gripis, aus, atau lepas salah satu bagiannya (wutuh). Selain itu ada pula penggemar keris yang menambah tiga kriteria di atas dengan memperhatikan bahan besinya, bahan pamornya, keindahan bentuknya, serta kebenaran pakem pembuatannya dan wibawa atau pengaruh yang terpancar dari bilah keris itu. Di beberapa kota di Pulau Jawa ada perhimpunan penggemar dan pecinta tosan aji, terutama keris. Di Surakarta, namanya Boworoso Tosan Aji, setelah itu ada Boworoso Panitikadga. Di Yogyakarta dan Jakarta ada Pametri Wiji, singkatan dari Paheman Memetri Wesi Aji. Kemudian pada tahun 1990, di Jakarta, ada lagi Damartaji, singkatan Persaudaraan Penggemar Tosan Aji. Secara berkala, para pecinta tosan aji dan keris itu mengadakan sarasehan dan diskusi untukmembahas budaya keris dari berbagai segi. Jual beli dalam dunia perkerisan biasanya diistilahkan dengan perjodohan. Sedangkan harganya, pada umumnya disebut mas kawin.Bilamana sebilah keris diberikan kepada seseorang tanpa mas kawin,Si Penerima keris itu harus memberikan petukan atau jemputan kepada Si Pemberi. Di Malaysia dan Brunai Darussalam, tradisi yang demikian disebut mahar atau imbal, sedangkan di Riau dan Kalimantan Barat juga menggunakan istilah jemputan. Istilah perjodohan dalam dunia perkerisan timbul karena anggapan sebagian besar pecinta keris bahwa tidak sembarang keris dapat cocok dengan seseorang. Keris yang dianggap sesuai dan cocok bagi Si A, mungkin tidak cocok dipakai oleh si B. Keris yang cocok dan sesuai tuah atau isoterinya, disebut jodoh. Sedangkan istilah mas kawin, timbul karena anggapan bahwa istilah jual beli terlalu rendah dan kasar bila digunakan untuk menyebut adanya transaksi pada sebilah keris. Jadi, jika seseorang akan menanyakan berapa harga sebilah keris, maka ia harus berkata: "Boleh saya tahu berapa mas kawinnya?". Bahkan, dulu bilamana seseorang menginginkan keris milik orang lain, ia bukan menyatakan hasratnya ingin membeli, melainkan mengatakan ingin melamar keris itu. "Jika diperkenankan, saya ingin melamar keris bapak yang ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng dan berpamor Wos Wutah itu..."
Itu semua dilakukan oleh orang yang hidup pada masa dulu, yakni nenek moyang kita, sebagai suatu etika, pengakuan dan penghargaan masyarakat atas tingginya kedudukan di mata masyarakat itu sendiri.
Siraman Pusaka
Khususnya di Pulau Jawa, ada tradisi memandikan atau mencuci dan mewarangi keris setahun sekali, pada saat-saat tertentu. Di Keraton Surakarta, baik Keraton Kasunanan maupun Keraton Mangkunegaran tradisi mencuci keris itu disebut Siraman Pusaka, diselenggarakan pada setiap bulan Sura menurut kalender Jawa, atau Muharam menurut sebutan kalender Hijrah. Begitu pula di Yogyakarta, baik Keraton Kasultanan maupun Keraton Pakualaman. Tradisi itu kemudian ditiru oleh orang-orang di luar keraton, baik di Jawa Tengah, maupun di Jawa Timur. Mereka pun membersihkan kerisnya pada bulan Sura setiap tahun. Tetapi di beberapa daerah lain, tradisi membersihkan keris ini ada yang dilakukan pada bulan Maulud menurut kalender Hijrah. Sebenarnya, tradisi tahunan semacam itu tidak selalu menguntungkan. Dengan mencuci, membersihkan, dan mewarangi keris setiap tahun, bilah keris akan cepat aus. Seharusnya, keris yang masih terawat baik tidak harus disirami setiap tahun, karena air jeruk yang digunakan sebagai pembersih pada hakekatnya juga melarutkan sebagian besi di permukaan keris itu. Sebilah keris yang terawatt dengan baik, cukup dibersihkan dan diwarangi tiga atau empat tahun sekali.
Asal Usul Keris
Keris dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat merabaraba. Gambar timbul (relief) paling kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti batu yang ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Melihat bentuk tulisannya, diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sanskerta. Prasasti itu menyebutkan tentang adanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, diantaranya: trisula, kapak, sabit kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bunga teratai. Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangka melambangkan keabadian, sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam.
Beberapa Teori
Sudah banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapatbahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam. Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu.
Keris yang hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa. Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang-kerik, bahasa Jawa).
Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang. Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib. Dalam kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder, jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng, umpak-umpak, dlsb.Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambing orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin dalam kandungan ibunya.
Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang istimewa. Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris. Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap. Kres yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula. Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris. Sementara itu edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang, bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk. Mengenai keris ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya. Ada pula yang menduga, budaya keris sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.
Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kirakira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang keris pendek lurus. Gambar yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris. Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit. Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris. Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and finished carefully. Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat dari emas, cula badak, atau gading. Tak pelak lagi, tentunya yang dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang ini. Gambar timbul mengenai cara pembuatan keris, dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu, terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi. Cara pembuatan keris yang digambarkan di candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dll.Teori Itu Tak Selalu Benar Bagi sebagian besar pecinta keris dan tosan aji di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli Barat itu banyak sekali mengandung kelemahan, dan terkadang bahkan tidak logis. Satu hal yang tidak ‘tertangkap’ dalam alam pikir para ahli Barat, adalah bahwa keris dibuat orang (para empu) sama sekali bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai alat pembunuh. Banyak buku yang ditulis orang Barat menyebut keris sebagai salah satu senjata tikam atau stabbing weapons. Buku-buku Barat pada umumnya memberi kesan bahwa keris serupa atau sama saja dengan belati atau ponyard (poignard). Padahal ada perbedaan sangat besar dan mendasar di antara mereka. Belati, sangkur, atau poyard memang sengaja dibuat untuk menusuk lawan, melukai atau membunuhnya, sedangkan keris tidak. Keris dibuat terutama untuk digunakan sebagai pusaka atau sipat kandel, yang dipercaya dapat melindungi serta memberi keselamatan dan kesejahteraan pemiliknya. Kekeliruan lain yang terasa agak menyakitkan hati, adalah penyebutan keris-keris sajen sebagai keris Majapahit oleh sebagian buku yang ditulis oleh orang Barat. Bagi orang Indonesia, terutama suku bangsa Jawa, keris Majapahit adalah salah satu produk budaya yang indah dan relatif sempurna -- yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan keris sajen yang dibuat amat sangat sederhana.
Dari uraian ringkas di atas, cukup beralasan bagi kita kalau memperkirakan bahwa keris sudah mulai dibuat di Indonesia, Di Pulau Jawa, pada abad ke-5 atau 6. Tentu saja dalam bentuk yang masih sederhana. Keris mencapai bentuknya seperti yang kita kenal sekarang, diperkirakan baru pada sekitar abad ke-12 atau 13. Budaya keris mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Majapahit, seperti yang telah ilaporkan oleh Ma Huan. Pada kala itulah budaya keris menyebar sampai ke Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Kamboja atau Champa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand bagian selatan. Budaya keris terkadang disalah mengertikan oleh sebagian peneliti Barat, sehingga hasil tulisan mereka terkadang tidak sesuai dengan alam budaya bangsa Indonesia. Aspek Eksoteri dan Esoteri Ilmu perkerisan terbagi menjadi dua aspek bahasan, yakni mengenai eksoteri dan esoterinya. Sebagian orang menganggap kedua aspek itu
sama pentingnya, sebagian lagi menilai yang penting eksoterinya, dan yang lain menganggap sebaliknya. Apapun anggapan dan penilaian Anda, itu akan mencerminkan sikap pribagi Anda pada budaya keris.
Aspek Eksoteri Keris Eksoteri adalah telaah yang membahas hal-hal yang dapat terlihat, dapat diraba, dan bisa diukur. Dalamdunia perkerisan, eksoteri keris meliputi pembicaraan masalah dapur keris, pamor keris, warangka (sarung) keris, kiran (hulu) keris, termasuk teknik pembuatan dan sejarah asal usulnya. Bentuk bilah keris terdiri atas ratusan dapur (lihat Istilah Keris) Dari yang ratusan itu bisa dibagi menjadi dua golongan besar, yakni bilah keris yang lurus, dan yang memakai luk.Dapur Keris Lurus
1. Betok
2. Brojol
3. Tilam Upih atau Tilam Petak
4. Jalak
5. Panji Nom
6. Jaka Upa atau Jaga Upa
7. Semar Betak
8. Regol
9. Karna Tinanding
10. Kebo Teki
11. Kebo Lajer
12. Jalak Nguwuh atau Jalak Ruwuh
13. Sempaner atau Sempana Bener
14. Jamang Murub
15. Tumenggung
16. Patrem
17. Sinom Worawari
18. Condong Campur
19. Kalamisani
20. Pasopati
21. Jalak Dinding
22. Jalak Sumelang Gandring
23. Jalak Ngucup Madu
24. Jalak Sangu Tumpeng
25. Jalak Ngore
26. Mundarang atau Mendarang
27. Yuyurumpung
28. Mesem
29. Semar Tinandu
30. Ron Teki atau Roning Teki
31. Dungkul
32. Kelap Lintah
33. Sujen Ampel
34. Lar Ngatap atau Lar Ngantap
35. Mayat atau Mayat Miri (ng)
36. Kanda Basuki
37. Putut dan Putut Kembar
38. Mangkurat
39. Sinom
40. Kala Muyeng atau Kala Munyeng
41. Pinarak
42. Tilam Sari
43. Jalak Tilam Sari
44. Wora-wari
45. Marak
46. Damar Murub atau Urubing Dilah
47. Jaka Lola
48. Sepang
49. Cundrik
50. Cengkrong
51. Nagapasa atau Naga Tapa
52. Jalak Ngoceh
53. Kala Nadah
54. Balebang
55. Pedak Sategal
56. Kala Dite
57. Pandan Sarawa
58. Jalak Barong atau Jalak Makara
59. Bango Dolog Leres
60. Singa Barong Leres
61. Kikik
62. Mahesa Kantong
63. Maraseba.
Dapur Keris Luk Tiga
1. Jangkung Pacar
2. Jangkung Mangkurat
3. Mahesa Nempuh
4. Mahesa Soka
5. Segara Winotan atau Jaladri Winotan
6. Jangkung
7. Campur Bawur
8. Tebu Sauyun
9. Bango Dolog
10. Lar Monga atau Manglar Monga
11. Pudak Sategal Luk 3
12. Singa Barong Luk 3
13. Kikik luk 3
14. Mayat
15. Jangkung
16. Wuwung
17. Mahesa Nabrang
18. Anggrek Sumelang Gandring
Dapur Keris Luk Lima
1. Pandawa
2. Pandawa Cinarita
3. Pulanggeni
4. Anoman
5. Kebo Dengen atau Mahesa Dengen
6. Pandawa Lare
7. Pundak Sategal Luk 5
8. Urap-urap
9. Nagasalira atau Naga Sarira
10. Naga Siluman
11. Bakung
12. Rara Siduwa atau Lara Siduwa atau Rara Sidupa
13. Kikik Luk 5
14. Kebo Dengen
15. Kala Nadah Luk 5
16. Singa Barong Luk 5
17. Pandawa Ulap
18. Sinarasah
19. Pandawa Pudak Sategal
Dapur Keris Luk Tujuh
1. Crubuk atau Carubuk
2. Sempana Bungkem
3. Balebang Luk 7
4. Murna Malela
5. Naga Keras
6. Sempana Panjul atau Sempana Manyul
7. Jaran Guyang
8. Singa Barong Luk 7
9. Megantara
10. Carita Kasapta
11. Naga Kikik luk 7
Dapur Keris Luk Sembilan
1. Sempana Cinarito
2. Kidang Soka
3. Carang Soka
4. Kidang Mas
5. Panji Sekar
6. Jurudeh
7. Paniwen
8. Panimbal
9. Sempana Kalentang
10. Jaruman
11. Sabuk Tampar
12. Singa Barong Luk 9
13. Buta Ijo
14. Carita Kanawa Luk 9
15. Kidang Milar
16. Klika Benda
Dapur Keris Luk Sebelas
1. Carita
2. Carita Daleman
3. Carita Keprabon
4. Carita Bungkem
5. Carita Gandu
6. Carita Prasaja
7. Carita Genengan
8. Sabuk Tali
9. Jaka Wuru
10. Balebang Luk 11
12. Sempana Luk 11
13. Santan
14. Singa Barong Luk 11
15. Naga Siluman Luk 11
16. Sabuk Inten
17. Jaka Rumeksa atau Jaga Rumeksa
Dapur Keris Luk Tigabelas
1. Sengkelat
2. Parung Sari
3. Caluring
4. Johan Mangan Kala
5. Kantar
6. Sepokal
7. Lo Gandu atau Lung Gandu
8. Naga sasra
9. Singa Barong Luk 13
10. Carita Luk 13
11. Naga Siluman Luk 13
12. Mangkunegoro
13. Bima Kurda Luk 13
14. Karawelang Luk 13 atau Kala Welang
15. Bima Kurda Luk 13
16. Naga Siluman Luk 13
Dapur Keris Luk Limabelas
1. Carang Buntala.
2. Sedet
3. Ragawilah
4. Raga Pasung
5. Mahesa Nabrang atau Kebo Nabrang
6. Carita Buntala Luk 15
Dapur Keris Luk Tujuhbelas
1. Carita Kalentang
2. Sepokal Luk 17
3. Lancingan atau Kancingan atau Cancingan
4. Ngamper Buta
Dapur Keris Luk Sembilanbelas
1. Trimurda
2. Karacan
3. Bima Kurda Luk 19
Dapur Keris Luk Duapuluh Satu
1. Kala Tinanding
2. Trisirah
3. Drajid
Dapur Keris Luk Duapuluh Lima
1. Bima Kurda Luk 25
Dapur Keris Luk Duapuluh Tujuh
1. Tagawirun
Dapur Keris Luk Dupuluh Sembilan
1. Kala Bendu Luk 29
Di Pulau Jawa, keris yang luknya limabelas atau lebih, digolongkan sebagai keris Kalawijan atau Palawijan. Dulu, keris kalawijan ini diberikan pada orang-orang yang berbeda dengan orang yang normal, yakni orang yang eksentrik, yang terlalu pintar, yang punya kelebihan, atau yang punya kekurangan. Untuk bisa membedakan dapur keris yang satu dengan lainnya, orang perlu lebih dahulu memahami berbagai komponen atau ricikan keris. Tanpa tahu dan faham benar mengenai ricikan keris, mustahil orang bisa mengetahui atau menentukan nama dapur keris.
Pamor Keris
SALAH satu aspek penting dalam eksoteri keris selain dapur, tangguh, perabot, adalah pamor keris. Mengenai sebilah keris pada umumnya orang akan bertanya, apa dapurnya, apa pamornya, tangguh mana, dan bagaimana perabotnya. Sebagian orang bahkan menganggap pamor paling penting dari semua aspek keris yang ada. Kata pamor mengandung dua pengertian. Yang pertama, menunjuk gambaran tertentu berupa garis, lengkungan, lingkaran, noda, titik, atau belang-belang yang tampak pada permukaan bilah keris, tombak, dan tosan aji lainnya. Sedangkan yang kedua, dimaksudkan sebagai jenis bahan pembuat pamor itu. Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada permukaan bilah keris karena adanya perbedaan warna dan berbedaan nuansa dari bahabbahan logam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keris, tombak, dan tosan aji lainnya. Dengan teknik tempa tertentu, logam bahan baku keris akan menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa atau lebur satu dengan lainnya. Karena adanya penyayatan pada permukaan bilah keris itu, gambaran pamor pun akan terbentuk. Gambaran pamor ini diperjelas dan diperindah dengan cara mewarangi keris, tombak, atau tosan aji itu. Setelah terkena larutan warangan, bagian keris yang terbuat dari baja akan menampilkan warna hitam keabu-abuan, yang dari besi menjadi berwarna hitam legam, sedangkan yang dari bahan pamor akan menampilkan warna putih atau abu-abu keperakan. Teknik tempa dalam pembuatan senjata berpamor ini merupakan ketrerampilan khas Indonesia, terutama Pulau Jawa. Bahkan seni pamor itu mungkin bisa dibilang penemuan orang Indonesia. Tidak ada bangsa lain selain Indonesia yang dalam catatan sejarah kebudayaannya mengenal seni tempa senjata berpamor, sebelum abad ke-10.
Asal Mula Pamor Tidak ada data tertulis yang pasti mengenai kapan orang Indonesia (Jawa) menemukan teknik tempa senjata berpamor. Namun jika dilihat bahwa sebagian bilah keris Jalak Buda sudah menampilkan gambaran pamor, bisa diperkirakan pamor dikenal bangsa Indonesia setidaknya pada abad ke-7. Pamor yang mereka kenal itu terjadi karena ketidaksengajaan, dengan mencampur beberapa macam bahan besi dari daerah galian yang berbeda. Perbedaan komposisi unsur logam pada senyawa besi yang mereka pakai sebagai bahan baku pembuatan keris itulah yang menimbulkan nuansa warna yang berbeda pada permukaan bilahnya, sehingga menampilkan gambaran pamor. Keris dan tombak tangguh Jenggala sudah menampilkan rekayasa pamor yang amat indah dan mengagumkan. Jelas pamor itu bukan berasal dari Ketidaksengajaan, melainkan karena teknik tempa dan rekayasa si empu. Inilah yang menimbulkan tanda tanya, apakah Jenggala dalam perkerisan sama dengan Jenggala dalam ilmu sejarah? Mengapa budaya masyarakat di kerajaan yang berdiri pada abad ke-11 itu sudah terampil membuat rekayasa seni pamor?
Bahan Pamor
Selain menunjuk pada pengertian tentang pola gambarannya, pamor juga dimaksudkan menunjuk pengertian mengenai bahan pembuat pamor itu. Ada empat macam bahan pamor yang acapkali digunakan dalam pembuatan keris, dan tosan aji lainnya. Dari yang empat itu, tiga di antaranya adalah bahan alami, sedangkan bahan pamor yang keempat adalah unsur logam nikel yang telah dimurnikan oleh pabrik. Bahan pamor yang tertua adalah bahan keris dari dua atau beberaoa senyawa besi yang berbeda. Senyawa besi yang berbeda komposisi unsur-unsurnya itu, tentunya didapat dari daerah yang berbeda pula. Dari bahan pamor ini, pamor yang terjadi dinamakan pamor sanak. Bahan pamor lainnya adalah batu bintang atau batu meteor. Penggunaan bahan meteorit untuk bahan pamor bukan hanya dilakukan oleh para empu di Pulau Jawa, juga di daerah lain di Indonesia. Badik batu dan mandau batu, misalnya, dibuat oleh orang Sulawesi dan Kalimantan. Di Sulawesi selain batu bintang atau batu meteor, ada bahan pamor lain yang banyak terdapat di daerah Luwu. Bahan pamor dari Luwu ini kemudian menjadi komoditi dagang antarpulau, bahkan juga dikenal dan diperdagangkan di Singapura, Semenanjung Malaya, dan Thailand. Mereka mengenalnya sebagai pamor Luwu atau bassi pamoro. Jenis bahan pamor yang terakhir adalah nikel. Dulu, beberapa puluh
tahun yang lalu, nikel lebih sering dijumpai sudah bercampur dengan unsur logam lainnya, biasanya dengan besi. Tetapi kini, tahun 2000, mudah didapat nikel murni yang dijual kiloan.
Dari empat macam bahan pamor itu, batu meteorlah yang terbaik, karena bahan itu mengandung titanium yang banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan pamor lainnya.
Jenis-jenis Pamor Keris
Ditinjau dari teknik pembuatannya, dikenal adanya dua macam pamor, yakni pamor mlumah dan pamor miring. Dibandingkan dengan pamor miring, pamor mlumah relatif lebih mudah pembuatannya, dan resiko gagalnya lebih kecil. Itulah sebabnya rata-rata nilai mas kawin (harga) keris berpamor mlumah lebih rendah dibandingkan keris yang berpamor miring. Ditinjau dari bagaimana terjadinya pamor itu, macam-macam motif pamor dibagi dalam dua golongan besar, yakni pamor tiban atau pamor jwalana, dan pamor rekan atau pamor anukarta. Yang digolongkan pamor tiban adalah jenis motif atau pola gambaran pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan dahulu oleh si empu.
Gambaran pola
pamor yang terjadi bukan karena diatur atau direkayasa oleh Sang Empu, dianggap sebagai anugerah Tuhan. Pola pamor golongan ini di antaranya, Wos Wutah, Ngulit Semangka, Sumsum Buron, Mrutusewu, dan Tunggak Semi. Sedangkan yang digolongkan pamor rekan, adalah pamor yang pola gambarannya dirancang atau direkayasa lebih dahulu oleh Sang Empu. Termasuk jenis ini di antaranya, pamor Adeg, Lar Gangsir, Ron Genduru, Tambal, Blarak Ngirid, Ri Wader, dan Naga Rangsang. Penamaan dan Simpangsiurnya Nama Pamor. Karena ragam pola gambaran pamor jumlahnya banyak sekali, untuk membedakan pola satu dengan lainnya, tiap motif pamor itu diberi nama. Ada dua cara pemberian nama pamor dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa.
Pertama, dengan melihat hasil akhir penampilan pamor yang tampak. Jadi, jika gambar pamor itu mirip dengan kulit semangka, pamor itu disebut Ngulit Semangka, walaupun mungkin Sang Empu bukan berniat membuat pamor Ngulit Semangka, tetapi Wos Wutah. Kedua, dengan memperkirakan niat Sang Empu. Misalnya, jika si empu diperkirakan berniat akan membuat pamor Ri Wader, ternyata jadinya mirip dengan gambaran pamor Mayang Mekar, maka pamor itu tetap dinamakan pamor Ri Wader, tetapi gagal. Karena kegagalan itu, nama pamor itu ditambah dengan kata 'wurung' sehingga menjadi Ri Wader Wurung. Tetapi penamaan cara yang kedua ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami teknik pembuatan pamor. Orang kebanyakan, yang bukan pakar - jelas akan memakai cara penamaan pamor yang pertama. Yang juga membingungkan, adanya perpedaan penyebutan nama pamor. Contohnya, pamor Lawe Setukel, ada yang menyebut Benang Satukel atau Lawe Saukel, atau Benang Saukel. Ada lagi, Blarak Sinered, Blarak Ginered, atau Blarak Ngirid. Ada lagi, Melati Rinonce atau Melati Rinenteng atau Melati Sato-or. Dan, masih banyak lagi kesimpangsiuran semacam itu. Yang lebih parah dari itu, misalnya: Pamor Sada Saler atau Adeg Siji. Namanya beda, tapi pola pamornya yang itu-itu juga. Perbedaan nama ini makin jauh lagi, karena nama Sada Saeler disalahucapkan menjadi Sada Jaler, dan kemudian menjadi Sada Lanang. Dan yang agak menggelikan nama Sada Saeler ditulis oleh orang Belanda dengan ejaan Sadasakler, kemudian nama itu diterjemahkan menjadi sadasa kleur yang artinya 'sepuluh warna'. Ini karena kata kleur yang berasal dari bahasa Belanda memang berarti warna.
Istilah-istilah Mengenai Pamor
Dalam buku-buku lama mengenai keris sering dijumpai berbagai istilahuntuk menggambarkan keadaan dan penampilan pamor. BahasaJ awanya: Wujud semuning pamor. Istilah-istilah itu pada umumnya kurang begitu dikenal orang yang hidup pada masa kini. Di antaranya adalah:
1. Pamor yang mrambut, merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan rabaan (grayangan - Jw.) - yakni pamor yang jika diraba dengan ujung jari rasanya seperti meraba rambut, Munculnya pamor semacam itu pada permukaan bilah keris bagaikan susunan helaian rambut, atau seperti serat-serat yang halus dan lembut.
2. Pamor yang ngawat, juga berkaitan dengan kesan rabaan seperti di atas, tetapi rasa rabaannya tidak sehalus pramor yang mrambut, - melainkan seolah-olah seperi rabaan jajaran kawat yang lembut.
3. Pamor yang nggajih merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan, yakni pamor yang tampak seperti lemak beku menempel di permukaan bilah keris. Keris atau tosan aji yang pamornya nggajih biasanya adalah keris yang bermutu rendah atau yang sering disebut keris rucahan. Keris semacam itu jika dijentik (dithinthing - Jw.) biasanya tidak berdenting.
4. Pamor mbugisan adalah istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan dan rabaan. Permukaan bilah keris yang pamornya tergolong mbugisan rabaannya halus, sedangkan gradasi berbedaan warna antara besinya yang hitam dan pamornya yang putih keperakan tidak nyata terlihat, tidak kontras.
5. Pamor yang nyanak adalah istilah untuk pamor Sanak atau pamor peson, merupakan istilah penilaian pamor menurut kesan penglihatan dan rabaan. Alur-alur pola gambaran pamor ini tidak jelas, tak kontras, tetapi rabaannya sangat terasa, agak kasar. Keris berpamor sanak biasanya dibuat dari bahan pamor yang berupa mineral besi yang didapat dari daerah lain. Jika dijentik, keris dengan pamor sanak tidak berdenting nyaring.
6. Pamor yang kelem, yang yang penampillannya cukup jelas, cukup kontras, tetapi sedemikian rupa sehingga seolah yang terlihat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan pamor. Seolah sebagian terbesar dari pamor itu 'tengelam' di dalam badan bilah. Pamor yang kelem itu jika diraba akan terasa lumer atau halus dan lembut.
7. Pamor yang kemambang adalah kebalikan dari pamor yang kelem. Pamor ini memberi kesan seolah bagian pamor yang tertanam di badan bilah hanya sedikit saja. Jika diraba, pamor kemambang juga memberikan kesan lumer dan halus.
8. Pamor yang ngintip adalah istilah penamaan pamor yang sangat kasar perabaannya, malahan kadang-kadang di beberapa bagian terasa tajam. Pamor yang ngintip ini bisa terjadi karena dua sebab. Pertama si empu boros atau dermawan (loma- Jw.) terhadap bahan pamor yang digunakannya, sehingga jumlah bahan pamor yang digunakan
berlebihan. Bisa juga terjadi karena ketidaksengajaan, yakni untuk memberikan kesan wingit pada keris itu. Sebab yang kedua adalah si empu menggunakan bahan pamor bermutu tinggi, tetapi besi yang digunakan mutunya kurang baik, sehingga besi itu cepat aus. Sewaktu besinya sudah aus, sedangkan pamor tidak, maka pamor itu akan 'muncul' di permukaan bilah secara berlebihan.
9. Pamor yang mubyar yakni pamor yang tampak cerah, cemerlang, dan kontras dengan warna besinya. Walaupun warnanya kontras, namun jika diraba akan terasa lumer, halus. Selain istilah-istilah yang di atas, untuk menilai pamor orang juga mengamati kondisi tertanamnya pamor pada badan bilah keris atau tosan aji lainnya. Menurut istilah Jawa, kondisi itu disebut tancebing atau tumancebing pamor.
Tancebing atau kondisi tertancapnya pamor pada badan bilah ada dua macam, yakni pandes (pandhes), yang tertanamnya pamor seolah dalam dan kokoh; dan kumambang, yaitu yang seolah-olah mengambang atau mengapung di permukaan bilah.
Tuah dan Perlambang
Banyak penggemar keris yang mengkaitkan nama dan motif pamor dengan tuah keris atau tombaknya. Untuk mengetahui sebuah keris atau tombak itu baik atau tidak tuahnya, orang lebih dahulu akan mengamati jenis motif pamornya. Begitu pula jika orang ingin tahu apa tuah atau manfaat keris itu, yang pertama kali dilihat adalah pamornya. Itulah sebabnya, mengapa di kalangan penggemar keris timbul istilah ‘membaca pamor’. Mereka menganggap bahwa tuah keris dapat dibaca dari pamornya. Anggapan itu tidak bisa disalahkan. Soalnya, seandainya pamor itu termasuk jenis pamor tiban, gambaran yang muncul dianggap sebagai pratanda dari Tuhan mengenai isi dan tuah keris itu. Jadi, motif atau pola yang tergambar pada pamor itu dianggap sebagai petunjuk untuk memperkirakan baik buruknya keris itu, sekaligus juga memperkirakan tuah apa yang terkandung di dalamnya.Kalau motif pamor itu tergolong pamor rekan, maka pamor itu akan direka oleh Sang Empu sedemikian rupa sehingga bentuk gambarannya sesuai dengan niat empu, yang dirupakan dalam doa adan mantera yang diucapkannya. Misalnya, jika Sang Empu menginginkan keris buatannya mempermudah si pemilik untuk mencari rezeki, ia akan membuat pamor Udan Mas, Pancuran Mas, Tumpuk, atau Mrutu Sewu. Tetapi jika si empu ingin agar keris buatannya bisa menambah kewibawaan pemiliknya, empu itu akan membuat keris dengan pamor Naga Rangsang, Ri Wader, Raja Abala Raja, dan yang sejenis dengan itu.
Gambaran motif pamor adalah perlambang harapan. Harapan Sang Empu, sekaligus juga harapan si pemilik keris. Kira-kira sama halnya dengan gambaran rajah penolak bala. Atau mungkin serupa pula dengan gambaran Patkwa yang oleh masyarakat keturunan Cina dipercayai memiliki tuah sebagai penolak bala. Mungkin mirip juga dengan kepercayaan sebagian orang Eropa yang menganggap bentuk ornamen ladam kuda (sepatu kuda) sebagai bentuk yang dianggap bisa mengusir setan dan roh jahat. Dalam budaya Jawa - mungkin juga dibilang budaya Indonesia, bentukbentuk tertentu membawa perlambang maksud dan harapan tertentu pula. Bentuk bulatan, lingkaran, garis lengkung, atau gambaran yang memberikan kesan lumer, kental, tidak kaku, melambangkan kadonyan atau kemakmuran duniawi, kekayaan, rejeki, keberuntungan, pangkat, dan yang semacam dengan itu. Bentuk gambaran garis yang menyudut,
segi, patahan, seperti segi tiga, segi empat, dan yang serupa dengan itu, dianggap sebagai lambang harapan akan ketahanan atau daya tangkal terhadap godaan, gangguan, serangan, baik secara fisik maupun nonfisik. Jika gambaran itu dirupakan dalam bentuk pamor, itu melambangkan harapan akan kesaktian dan kadigdayan.
Bentuk garis lurus yang membujur atau melintang, atau diagonal, dipercaya sebagai lambang harapan akan kemampuan untuk mengatasi atau menangkal segala sesuatu yang tidak diharapkan. Pamor yang serupa itu dianggap dapat diharapkan kegunaannya untuk menolak bala, menangkal guna-guna dan gangguan makhluk halus, menghindarkan bahaya angin ribut dan badai, terhindar dari gangguan binatang buas dan binatang berbisa. Misalnya, pamor Adeg.
Karena itulah, seorang empu sebenarnya juga bisa dibilang seniman yang memahami bahasa perlambang, dan menggunakan gambaran pamor sebagai media komunikasi.